Senin, 11 Agustus 2008

Pepohon Salam: Jejak yang tertinggal di masa kanak-kanak

Daun-daun salam pun berguguran
…..

Begitu kira-kira satu kalimat dalam puisi berjudul Arjuna, karya Prof. Dr Suminto A Sayuti. Penyair yang tinggal di Yogyakarta yang juga seorang guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta.

Tetapi bagiku, pohon-pohon salam adalah bagian hidup masa kanak-kanakku. Masa-masa ketika aku masih bersama bocah-bocah di pedesaan. Parjan, Tarjo, Kusnan, Ngadiman ...dan banyak lagi. Pohon-pohon salam juga selalu mengingatkanku akan jerih payah bapak dan ibuku. Hidup di pedesaan, di tengah-tengah dengus nafas petani-petani kecil. Di rindang pepohonan, di dengar kicau burung di awal pagi dan juga di hias warna-warni buah-buahan liar. Tumbuh menjulang, di pagar-pagar pekarangan, di tepian desa dan kadang merunduk di atas sungai-sungai kecil.

Dulu, pohon salam di desaku cukup banyak tumbuh di pekarangan. Besar-besar dan bercabang-cabang. Lebat buahnya di akhir musim kemarau. Kecil-kecil dan manis rasanya. Apalagi ketika buah sudah masak, hitam warnanya.

Sampai saat ini, aku belum pernah makan buah salam yang sudah benar-benar masak yang langsung kupetik sendiri dari pohonnya. Ketika pohon salam ini berbuah di desaku, aku belum cukup besar sehingga tak mampu memanjatnya. Lingkar batang sampai setengah meter. Toh kalau aku nekad, bakalan kena marah bapak ibu.

Aku hanya bisa merasakan buah salam yang berwarna hitam yang telah jatuh di tanah. Mungkin sisa kelelawar atau yang jatuh sendiri di sepanjang malam. Tapi tetap nikmat. Apalagi ngambilnya sembari rebutan dengan teman-teman. Tak ada kuman atau virus, karena nyatanya aku tetap sehat sampai sekarang. Anugrah kali.

Kalau aku makan buah salam segar, hanya ketika bocah-bocah di desaku yang udah gede-gede memberiku dalam kesempatan memetik buah salam beramai-ramai. Dan biasanya kalau memberi anak-anak kecil yang sering nunggu di bawahnya, hanya yang merah-merah, sehingga rasanya gak manis, agak masam sedikit. Tapi tak apalah, memang anak kecil cukup untuk itu.

Ibu, dulu juga selalu memasukan daun salam ketika membuat bubur buatku. Katanya ”biar terasa lebih enak”, kata ibuku waktu dulu. Tetapi memang begitu, sampai sekarang ketika aku telah berumur 36 tahun, istriku sering pula memakai daun salam sebagai penyedap masakannya. Tetapi jelas bukan aku yang mengambilnya daei kebun. Istriku membeli dari warung sebelah. Daun-daun salam yang telah berangkat kering.

Begitu kira-kira ingatanku tentang pohon salam. Jejak masa kanak-kanak yang telah berangkat ke barat. Dan ketika anda atau siapapun bertanya tentang pohon salam, aku hanya bisa jawab: aku menyimpannya dalam kenangan. Pohon-pohon salam di desaku sudah banyak di tebang. Coba di daerah lain, mungkin masih ada hidup menjulang. Atau mungkin malah di pot halaman sebelah rumah. Coba kita cari bersama-sama. Mungkin dan mungkin masih ada yang tersisa. Semoga. ....(didik)

2 komentar:

rochmadi mengatakan...

Dulu masa kecilku hidup di kota. Salam ditanam kakakku untuk penyedap makanan.Sayang akhirnya terpaksa ditebang. Sekarang justru hidupku di desa. saya tanam pohon salam untuk penyedap masakan

Didik mengatakan...

ya... mudah-mudahan kita tetap dapat berbagi salam